Translate

Minggu, 19 Januari 2014

Taziyah

 

Apa Yang Diucapkan Ketika Menta'ziyahi Orang Terkena Musibah

Para ulama memandang bolehnya melakukan ta'ziyah dengan lafadz (ucapan) apa saja yang bisa menyabarkan orang yg terkena musibah (yg berduka), menghentikan kesedihannya dan membawa mereka kpd sikap ridho terhadap ketentuan (taqdir) Allah Ta'ala selama lafadz tsb tidak bertentangan dgn syari'at.


[Lihat Al-Majmu' 5/278; Al-Adzkar An-Nawawiyah dgn Shohih kitab Al-Adzar
1/403; Al-Mughny 3/487; Ahkam Al-Jana-iz hal.206]

Dan jika dia mengetahui serta mengingat lafadz ta'ziyah yg pernah diucapkan oleh Nabi shalallahu`alayhi wasallam maka itu adalah lebih baik. Dantara lafadz ta'ziyah yg pernah diucapkan oleh Nabi shalallahu`alayhi wasallam adalah :

1. Perkataan Nabi shalallahu`alayhi wasallam ketika putrinya sedang mendekati mautnya :
"Innallaha maa akhadza wa lahu maa a`thaa wa kulla syai-in `indahu bi-ajalin
musammaa"

(Artinya : Sesungguhnya kepunyaan Allah apa yg Dia ambil dan milik-Nya apa yg Dia beri dan segala sesuatu di sisi Allah memiliki waktu yg telah ditetapkan)
[Hadits shohih riwayat Bukhari-Muslim dari shahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu`anhuma]

Berkata Al-Imam An-Nawawy dalam kitab Al-Adzkar (lihat kitab shohih Al-Adzkar 1/402) : "Dan hadits ini adalah sebaik-baik lafadz yg bisa digunakan untuk manta'ziyah".

Syaikh Al-Albani berkata : dan shighoh (bentuk lafadz) ta'ziyah ini meskipun riwayatnya datang berhubungan dengan orang yg mendekati maut, akan tetapi melakukan ta'ziyah dengan lafadz tsb terhadap musibah kematian (yg sudah meninggal) lebih pantas berdasarkan apa y ditunjukkan oleh nash hadits (secara zhohir).
[Lihat Ahkamul Jana-iz hal.207]

2. Perkataan Nabi shalallahu`alayhi wasallam ketika menemui Ummu Salamah radhayallahu`anha, setelah meninggalnya Abu Salamah beliau berkata (berdoa) :

"Allahummaghfir li abiy salamata war fa` darajatahu fiil mahdiyyiina wakhlifhu fii `aqibihi fiil ghaabiriina waghfirlana wa lahu yaa rabbal `aalamiina wafsah lahu fii qabrihi wa nawwir lahu fiihi."
(Artinya : Ya Allah ampunilah Abu Salamah dan angkatlah derajatnya ke dalam golongan orang-orang yg mendapat petunjuk dan jadikanlah pengganti di belakangnya dari kalangan orang-orang yg tinggal dan hidup dan ampunilah kami dan dia Wahai Rabb semesta alam serta lapangkan dan terangilah baginya didalam kuburnya)
[Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim no.920]

3. Perkataan Nabi shalallahu`alayhi wasallam ketika menta'ziyah `Abdullah bin Ja'far atas kematian bapaknya. Beliau mengucapkan sebanyak tiga kali : "Allahummakhluf ja'faran fii ahlihi wa baarik li `abdillahi fii shafqati yamiinihi"
(Artinya : Ya Allah berikanlah bagi Ja'far pada keluarganya dan berkahilah `Abdullah pada pekerjaan tangannya)
Berkata Syaikh Al-Albani : "Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad no.1750 dgn sanad yg shohih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan dari jalannya(Muslim) Al-Hakim (3/298) meriwayatkan satu potong/penggalan dari hadits tsb"
[Lihat Ahkamul Jana-iz hal.209]

Selain itu sebagian ulama menyebutkan lafadz-lafadz yg bisa diucapkan ketika menta'ziyah seorang muslim atas kematian seorang muslim yg lainnya, yaitu :


"A`zhomallahu ajrakum wa ahsana `azaa-akum warahimallahu mayyitakum"
(Artinya : Mudah-mudahan Allah memperbesar pahala kalian dan membaguskan
kesabaran kalian dan merahmati mayat kalian.)


Atau untuk bagian terakhir "wa ghafara mayyitakum"(dan mengampuni mayat kalian)
Lihat : Al-Majmu' (5/278), Al-Mughny (3/486), Al-Inshof (2/565)

Dan jika yg dita'ziyah adalah seorang muslim atas mayatnya yg kafir, maka mereka (para ulama) menyebutkan bahwa doanya adalah : "A`zhomallahu ajrakum wa ahsana `azaa-akum"(Mudah-mudahn Allah memperbesar pahala kalian dan membaguskan kesabaran kalian) Tanpa menyebuitkan dia bagi mayat bahkan menahan diri dari doa bagi mayat
sebab doa dan permohonan ampun bagi orang kafir terlarang. Lihat : Al-Mughny
3/487

----------------
disalin dari rubrik Fiqh, majalah Risalah Ilmiah An-Nashihah vol.03
Th.I/1422 H/2001 M
 

 

Readmore...

Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah

 

Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah 2/3
Kamis, 4 Maret 2004 22:31:09 WIB
Kategori : Ahkam
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=384

HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH
[Diambil dari kitab "Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlul Ahwa wal Bida’ " cetakan Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsariah jilid I hal 373-388]

Oleh
Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili

Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]


Ijma’ tersebut juga dinukil oleh Syaikh Muhammad ‘Ulaisy (Dia Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, ‘Ulaisy Ath-Tharablisi Ad-Daarul Mishri, dia seorang syaikh dari madzhab Maliki di sana. Dia banyak melahirkan ulama-ulama Al-Azhar dari beberapa tingkatan. Dia banyak memiliki karangan dalam beberapa disiplin ilmu, yang mayoritasnya telah dicetak. Wafatnya tahun 1299 H di Mesir. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah, Muhammad Makhluf 1/385) dari kalangan para ulama Malikiyah dalam Taqrirat-nya terhadap Hasyiyah Ad-Dasuqi (Lihat Taqriqat, Al-‘Allamah Muhammad ‘Ulaisy terhadap Hasyiyah Ad-Dasuki yang dicetak dengan catatan kaki Ad-Dasuki 2/249. ) dan Doktor Az-Zahaili dalam Al-Fiqhul Islami. [6 Lihat Al-Fiqhul Islami ‘ala Adillatuhu 7/152]

Secara umum, keharaman menikahnya wanita muslimah dengan pria kafir termasuk masalah yang masyhur dan jelas di kalangan para ulama. Hingga, sebagian mereka mewajibkan dijatuhkannya hukuman kepada si pria kafir dan si wanita muslimah bila terjadi akad antara keduanya dengan menikahkan setelah dibatalkan. Mereka juga menghukumi setiap orang yang ikut andil dalam akad itu. Hal ini ditegaskan oleh Ibnul Hamman Al-Hanafi (Dia Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid bin Abdul Hamid bin Mas’ud As-Siausi yang terkenal dengan Ibnul Hamman Al-Hanafi, seorang Imam lagi sangat cerdas. Dia juga seorang peneliti yang cemerlang. Wafat tahun 361 H. Lihat Syudzuratudz Dzahab 7/29) dalam Syarh Fathul Qadir yang mana beliau berkata, "Tidak sah menikahnya pria kafir dengan wanita muslimah. Kalau sampai terjadi, keduanya dihukum, jika si wanita mengetahui status pria. Dan juga orang yang ikut andil, pria atau wanita." [Syarh Fathul Qadir 2/506]

Yang dimaksudkan di sini adalah keharaman menikahnya pria mubtadi’ kafir akibat bid’ahnya, dengan wanita muslimah dari Ahlus Sunnah, menurut nash-nash Al-Kitab dan ijma’ umat ini berupa keharaman dinikahinya wanita muslimah oleh pria kafir dan masuknya mubtadi’ kafir ke dalam sifat kufur yang ada hukum-hukum tentangnya.

Hal ini masih ditambah dengan riwayat-riwayat yang mutawatir dari para salafush shalih berupa atsar-atsar yang terang tentang keharaman menikahkan wanita Ahlus Sunnah kepada orang yang telah divonis kafir dari Ahlul Bid’ah, dan rusaknya serta batalnya pernikahan tersebut.

Di antara atsar-atsar tersebut:

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dan selainnya dari Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya tentang pernikahan pria Qadari, maka beliau membaca ayat:
"Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musrik walaupun dia menarik hatimu." [Al-Baqarah: 221]. [As-Sunnah, Ibnu Abi Ashim hal. 88, dan Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 151, dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalikai 2/731].

Dari beliau juga, bahwa beliau pernah ditanya tentang Qadariyah, manakah yang lebih baik, tidak berbicara dengan mereka atau memusuhi mereka? Beliau berkata, "Ya, jika dia memang paham terhadap apa yang dia yakini ….. " Dan beliau berkata, "Dan saya berpendapat mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah)." [Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah Ash-Shughra hal. 150]

Dari Sufyan Ats-Tsauri, dia pernah ditanya oleh seseorang, "Saya memiliki famili yang Qadari, apakah saya boleh menikahinya?" Beliau berkata, "Tidak. Tidak ada kehormatan baginya." [Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 2/735]

Dari Abdurrahman bin Malik, ia berkata, "Tidak ada Ahlul Bid’ah yang lebih jahat dari teman-teman Jahm, mereka berkeliling-keliling sambil mengatakan, "Di langit tidak ada apapun." Saya berpendapat, "Demi Allah, mereka tidak boleh menikahi dan mendapatkan waris." [Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dalam Kitabus Sunnah 1/157]

Dari Muhammad bin Yahya (Muhammad bin Yahya bin Abi Umar Al-‘Adani, dia tinggal di Makkah. Dia seorang yang sangat jujur lagi mengarang Musnad. Dia terus belajar kepada Ibnu ‘Uyainah, tetapi Abu Hatim berkata, "Padanya ada kelalaian." Wafat 243 H. ), ia berkata, "Siapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk, dia kafir. Siapa abstain, dia lebih jahat dari yang mengatakan makhluk. Tidak boleh shalat di belakang mereka dan mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah) …" [Al-Lalikai dalam Syarhus Sunnah 2/325]

Riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Salaf menunjukkan keharaman menikahkan Ahlul Bid’ah yang kebid’ahan-kebid’ahannya sampai ke batas kekafiran, seperti Jahmiyah dan Qadariyah serta Ahlul Bid’ah yang sama hukumnya dengan mereka yang telah pasti dihukumi dengan kekafiran menurut Ahlus Sunnah. Menikahnya mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah adalah tidak boleh dengan sebab kekafiran mereka. Jika itu terjadi, wajib membatalkannya dengan langsung, sebagaimana ditunjukkan oleh fatwa-fatwa para ulama Ahlus Sunnah yang menegaskan madzhab Salaf dalam hal itu.
Diriwayatkan dari Syaikh Abul Qasim As-Sialari (Dia Abul Qasim Abdul Haq bin Abdul Harits, penutup ulama Afrika. Dia seorang yang terhormat, peneliti, zuhud, lagi ahli sastra. Sebagian ulama benyak belajar kepadanya. Dia berumur panjang. Wafat tahun 460 H. Lihat Ad-Dibaj Al-Madzhab, Ibnu Farihan 2/22.) rahimahullah, beliau ditanya tentang suatu kaum dari Ibadhiyah yang berpegang dengan madzhab Wahbiyah dari Rafidlah dan tinggal di antara kaum muslimin, serta mereka menikahi para wanita Ahlus Sunnah agar bertambah kekuatan mereka dengan hubungan periparan dengan Ahlus Sunnah, maka apakah boleh Ahlus Sunnah membatalkan pernikahan-pernikahan mereka itu dan memukul mereka hingga mereka bisa kembali meninggalkan madzhab mereka?

Maka beliau berkata, "… Pernikahan yang mereka lakukan dengan para wanita kita (wanita Ahlus Sunnah), maka segera dibatalkan, penjara dan pukul mereka jika mereka belum bertaubat, yaitu kepada urusan yang benar, dan kembalikan kepada madzhab Ahlus Sunnah. Dan siapa yang mampu untuk melakukan apa yang telah kita sebutkan, maka dia wajib melakukannya." [Tabshuratul Hukkam, Ibnu Farihan yang dicetak dengan footnote Fathul ‘Aliyil Malik 1/425].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam jawaban terhadap pertanyaan tentang hukum menikahkan seorang pria Rafidlah (dengan wanita Ahlus Sunnah) dan orang yang mengatakan tidak wajib melakukan shalat yang lima, "Tidak boleh seorang pun menikahkan budaknya/maulanya yang wanita dengan pria Rafidlah dan orang yang meninggalkan shalat. Jika ketika mereka menikahkannya dia seorang Sunni dan shalat, kemudian muncul/tampak bahwa dia sebenarnya seorang Rafidli yang tidak shalat, atau dia kembali kepada madzhab Rafidlah dan meninggalkan shalat, maka mereka harus membatalkan nikahnya." [Majmu’ Fatawa 32/61].

Setelah pemaparan yang rinci tentang nash-nash yang syar’i dan ucapan-ucapan para Salaf, menjadi jelaslah hukum syari’at dan sikap Ahlus Sunnah tentang pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, bahwa pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tidak halal sama sekali, sama saja apakah mereka pria atau wanita. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pria Ahlus Sunnah untuk menikahkan wanita yang dalam tanggung jawabnya dengan pria Ahlul Bid’ah yang kafir, sebagaimana juga tidak boleh baginya untuk menikahi wanita dari mereka. Hal itu merupakan ijma’ Ahlus Sunnah. Wallahu A’lam.

Adapun jika si mubtadi’ tidak kafir, maka yang menjadi masalah dalam pernikahannya dengan wanita Ahlus Sunnah yaitu berkaitan dengan masalah ‘sekufu’ dalam pernikahan’. Hal itu teranggap berkaitan dalam sahnya pernikahan atau tidak? Tempat pembahasan hal ini dengan luas ada dalam kitab-kitab fiqih. Saya di sini hanya menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tentang masalah ini menurut bentuk yang global, agar semakin terang dalam hukum pernikahan mubtadi’ tadi.

Global pendapat dalam masalah ini adalah bahwa para ulama berselisih tentang persyaratan "kufu’" dalam pernikahan. Sebagian mereka berpendapat bahwa persyaratan kufu’ bukan syarat kesahan pernikahan dan juga bukan keharusan pernikahan. Itu diriwayatkan oleh Al-Hasan Basyri dan Sufyan Ats-Tsauri, dan demikian juga pendapat Al-Khurkhi dari kalangan Hanafiyah.
Dan jumhur para ulama, di antaranya tokoh empat madzhab, berpendapat bahwa kufu’ adalah syarat keharusan pernikahan dan syarat kesahan pernikahan. Bila seorang wanita menikah tanpa sekufu’, maka akad tersebut benar. Para walinya memiliki hak untuk menolak sang pria dan menuntut fasakh-nya untuk menolak bahaya-bahaya yang memalukan dari diri-diri mereka. Jika mereka menggugurkan hak mereka dalam menolak, maka itu boleh. Demikian juga kalau sang wali menikahkan maula wanitanya tanpa sekufu’, maka wanita tersebut memiliki hak untuk menolak dan membatalkan akad, kecuali kalau dia (si wanita) tidak mau menggunakan haknya, maka boleh.

Masalah sekufu’ dalam pernikahan adalah hak bagi sang wanita dan walinya. Hakini tetap berlaku bagi keduanya menurut persetujuan, yakni kalau salah satunyamenggugurkan haknya, tidak bisa yang lain ikut gugur kecuali bila dia juga menggugurkan. Kalau keduanya sepakat untuk menggugurkan hak ini, akad bisa dilaksanakan.Ini berbeda bila kufu’ adalah syarat dalam kesahan akad, maka akad pernikahan tanpa sekufu’ tidak sah, hingga kalau para wali dan sang wanita menggugurkan hak mereka untuk menolak. Sebab, syarat sah tidak bisa gugur dengan digugurkan oleh pemiliknya. Inilah perbedaan antara syarat yang mesti dan syarat sah. [Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul Hamman 2/417, Syarh Al-Kabir, Ahmad Ad-Darrudir dengan Hasyiyah Ad-Dasiki 2/249, Mughnil Muhtaj, Muhammad Asy-Syarbini 3/249, Raudlatuth Thalibin, An-Nawawi 7/84, Kasyful Qana’, Al-Bahuti 5/72 dan Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Az-Zuhaili 7/234]

Kemudian -setelah mereka sepakat untuk menganggap kufu’ adalah syarat keharusan nikah- jumhur berselisih dalam keberbilangan bagian yang dianggap dalam kekufu’an. Kita bukan merinci perbedaan mereka dalam hal itu karena tidak ada keterkaitannya dengan tema kita. Yang kita maukan di sini adalah menganggap "keagamaan" termasuk bagian kufu’ dalam pernikahan. Inilah yang menjadi tempat ijma’ mayoritas fuqaha’ yang telah disampaikan tadi, kecuali Muhammad bin Al-Hasan (Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul hamman 2/422, Taqrirat) dari Hanafiyah, karena beliau tidak menganggap kekufu’an dalam masalah agama. Beliau berkata, "Karena ini masalah akhirat sedangkan kufu’ termasuk hukum-hukum dunia." [Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320, Syarh Fathul Qadir, Ibnu Hamman 2/423]

Perlu diperingatkan, yang dimaksud dengan "keagamaan" di sini adalah sebagaimana yang ditafsirkan para ulama dengan "takwa dan wara", yaitu sang pria bukan seorang yang fasik dan mubtadi’ (Syaikh Ma’a ‘Ulaisy terhadap Asy-Syarhul Kabir yang dicetak dengan footnote Ad-Dasuqi 2.249.). Bukanlah yang dimaksudkan dengan "keagamaan" adalah beragama Islam, karena agama Islam syarat kesahan akad menurut ijma’, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi, sebagaimana telah lalu keterangannya di awal pasal.
Inilah ucapan-ucapan para fuqaha’ dalam menganggap permasalahan kufu’ dalam keagamaan, sebagaimana dinukil oleh para peneliti empat madzhab:

Dari Madzhab Hanafi:

Penulis kitab Bada’iush Shana’i berkata di bawah judul "Hal yang dianggap termasuk kekufu’an": "Di antaranya: Agama. Menurut pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf, hingga kalau seorang wanita yang termasuk anak-anak para orang shalih bila menikahkan dirinya kepada seorang pria fasik, maka para walinya berhak untuk menolak, sebab membanggakan diri dengan agama lebih pantas daripada berbangga dengan keturunan, status orang merdeka dan harta. Penjelekan akibat kefasikan lebih jelek dari berbagai kejelekan-kejelekan yang ada." [Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320]

Itu juga dinukil dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf Burhanuddin Al-Marghinani,( Dia adalah Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil Al-Farghani Al-Marghinani, pengarang Al-Hidayah. Dia seorang Imam, faqih, hafidz, muhaddits (ahli hadits), ahli tafsir lagi pengumpul ilmu. Wafat tahun 593 H. Lihat Al-Fawa’id Al-Bahiyyah dalam Tarajimul Hanafiyah, Al-Kinani hal. 141). pengarang Al-Hidayah, dia berkata, "Dan itu benar (Al-Hidayah dengan Syarh Fathul Qadir 2/422.) yaitu: Termasuk madzhab keduanya menurut yang diterangkan Ibnu Hamman dalam Syarh Fathul Qadir." [Syarh Fathul Qadir 2/422]

Sebagaimana masing-masing, tiga para peneliti menyetujui pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf dalam konteks ucapan mereka.

[Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah, Penulis Syaikh DR Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah Al-Medany, Penerbit Pustaka Al-Ghuraba' Press, hal 13-25]

Readmore...

Salafus Shaleh

 
Nasehat Indah Bagi Salafiyyin

Diambil dari mailing list salafiyyin@yahoogroups.com

Message: 10       
   Date: Tue, 22 Feb 2005 00:54:55 -0800 (PST)
   From: "Moderator salafiyyin@yahoogroups.com" <salafiyyin@gmail.com>
Subject: ~ Nasehat Indah Bagi Salafiyyin ~


Bismillahirrohmanirrahiim
Assalamu'alaikum warrohmatullahi wabarokatuh


Kepada Ikhwah Salafiyyin Al mukhtaramiin

Alhamdulillah wasolatu wa salamu 'ala rosulillah wa'ala alihi wa sohbihi wa man waa lah
Ama ba'du


Perkara yang tidak diragukan lagi bahwa berjihad dengan hujjah dan burhan dalam berdakwah, mengikhlaskan ibadah hanya untuk Alloh, membantah kesyirikan dan kesesatan dengan segala bentuknya, menghancurkan syubhat-syubhat dan melenyapkan fitnah syahwat, adalah amalan yang paling utama. Dengan demikian, maka bangkitlah para ahlul haq di setiap zaman dan tempat mengangkat bendera kebenaran sebagai pembela Agama Alloh, KitabNya, dan RasulNya, menjadi penasehat umat, merealisasikan firman Allah

"Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Alloh"(Q.S. Ali Imran:110).

Dan juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam " Akan ada sekelompok dari ummatku mereka nampak diatas kebenaran, tidak memudharatkan mereka orang-orang yang menghinanya tidak pula yang menyelisihinya sehingga datang ketetapan Alloh" (H.R.Bukhari-Muslim)

Akhi barokallahufiik...
"menyampaikan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam ke tengah-tengah ummat adalah lebih afdhol dari pada melemparkan panah ke leher-leher musuh, yang demikian itu hal ini dapat dilakukan semua orang, sedang menyampaikan Sunnah tidak ada yang melakukannya kecuali warosatul anbiya"

Menyampaikan Al-Haq itulah tujuan kita, sementara Alloh Ta'ala berfirman :

"Serulah (manusia) ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik"(Q.S. An-Nahl : 125).

Berkata Ibnu Katsir : "Yakni yang dibutuhkan dari kalangan mereka kepada suatu bantahan(jidal) maka, hendaknya dengan bentuk yang baik, dengan cara yang halus, lemah lembut dan ucapan-ucapan yang baik" (Tafsir AlQur'anul adzim 2/616).

Oleh karena itu barokallahufiik, janganlah antum jadikan perdebatan adalah satu-satunya jalan untuk menyampaikan dakwah dengan hujjah-hujjahmu karena itu bukanlah jalan yang ditempuh salafuna sholih, memaksakan sampainya hujjah-hujjah dengan cara debat adalah tidak benar, sampaikan Al-Haq itu dengan penuh hikmah. Antum harus tahu bahwa para salaf mencela perdebatan karena beberapa hal :

1. Bila perdebatan itu dilakukan dengan menggunakan argumentasi-argumentasi ilmu kalam dan filsafat
2. Mereka mencela perdebatan bila yang berdebat keadaannya lemah tidak mampu menolak syubhat-syubhat
3. Mereka mencela perdebatan bila lawan debat diketahui ngeyel/membangkang, dll (Dar'u ta'arudh al 'aql wannaql : 7/173)

Maka, tidak sepatutnya antum tenggelam dalam masalah perdebatan dan membuka front perdebatan dalam menyampaikan al Haq. "Alqi kalimataka wamsyi", sampaikan kalimatmu dan selesai ! Bila ada yang bertanya dan minta penjelasan, sampaikan sebatas ilmu yang antum miliki, ingat Imam Ahmad berkata, "Jangan kamu berbicara tentang suatu permasalahan (agama) kecuali kamu punya pendahulunya."

Bila ada yang bertanya dalam rangka mendebatmu dalam perkara yang antum tidak tahu ilmunya, tinggalkan! Haram hukumnya berdebat tanpa ilmu, bila suatu masalah itu sudah jelas kebenarannya menurut Kitab dan Sunnah serta paham salaf, kemudian ada yang berupaya untuk membuka front debat, tinggalkan! Haram hukumnya berdebat dalam perkara yang sudah jelas kebenarannya. [Al Faqih Wal Mutafaqih: 2/32-33]

Hendaknya antum persempit medan perdebatan, dan ingat! Tidak semua orang dapat masuk ke dalam medan ini karena perdebatan membutuhkan ketakwaan, keikhlasan, dll. Jika perdebatan itu menimbulkan mafsadah yang besar, maka diam adalah sifat orang-orang yang bertakwa. Demikian dan semoga Allah menunjuki kita kepada apa yang dicintai dan diridhoiNya. Wal 'ilmu 'indallah.

Bandung, 18 Februari 2004

Ditulis oleh yang faqir di hadapan Rabbnya.
Abu Hamzah Yusuf.
(mukim di Bandung, Jawa Barat)
Alamat : Jl. Sekelimus VII no.11 Bandung, Jawa Barat
Tlp. (022) 7563451
d/a Ali Jln Plesiran no 57A Dago, Bandung, Jawa Barat
(022) 2509282
 

Readmore...

Menjadikan para ulama dan ahli ibadah sebagai sesembahan selain Allah

 
style="WIDTH: 75pt; HEIGHT: 30pt" type = "#_x0000_t75" coordsize = "21600,21600">



Masalah Jahiliyyah :37

"Mereka beribadah dengan menjadikan para ulama dan para ahli ibadah sebagai sesembahan selain Allah."

 

Penjelasan:

Allah berfirman tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani:

v     Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.[Surat At Taubah:31]

AHBAAR dalam ayat diatas artinya adalah para ulama.Sementara RUHBAAN adalah kalangan ahli ibadah.Kaum Yahudi dan Nashrani beribadah kepada Allah dengan mengikuti para ualama dan ahli ibadah dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.Yakni ketika para ulama dan ahli ibadah itu mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, lalu mereka mentaatinya.Itu dianggap sebagai ibadah,karena mereka berkata: mentaati ulama adalah wajib secara mutlak. Kita tegaskan,mentaati mereka memang wajib selama mereka mentaati Allah.Akan tetapi kalau mereka melanggar hukum Allah,tidak ada lagi ketaatan kepadanya.Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda:

Ø      Laa thoo'ata limakhluqin fii ma'shiyatil khooliqi;"Tidak ada ketaatan terhadap mahluk dalam berbuat maksiat kepada Allah."

Meskipun mereka itu adalah para ulama dan ahli ibadah dari kalangan manusia yang paling zuhud.Selama mereka tidak dalam kebenaran,tidak boleh diikuti.Barangsiapa yang mengikuti mereka,padahal ia mengetahui bahwa mereka menghalalkan yang diharamkan oleh Allah,atau mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah, berarti ia telah menjadikan mereka sebagai sesembahan.Yakni menyekutukan Allah dengan mereka.Karena penetapan halal dan haram adalah hak Allah Subhanahu wa ta'ala.Seseorang tidak boleh menghalalkannya ,menharamkan dan menetapkan syariat tanpa dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Allah berfirman:

v     Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.[116] (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih.[117] [Surat An Nahl:116-117]

Maka kita tidak boleh mentaati para ulama dengan ketaatan mutlak ketika mereka benar maupun keliru.Kita hanya mengikuti ketika mereka benar.Kita harus menghindari kekeliruan mereka apabila mereka berbuat keliru.Sehingga kita mentaati orang yang mentaati Allah dan tidak mentaati orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala .Kita melanggar orang yang berbuat kekeliruan untuk tidak berbuat keliru.Itulah agama yang benar.

Akan tetapi kalau kita TIDAK mengetahui bahwa seorang ulama berbuat keliru,maka kita dimaklumi.Adapun orang yang berkata ,"Kalau ulama berbuat keliru,kekeliruan hanya ditanggungnya sendirian." Maka kita katakan :"Itu tidak benar.Karena alasan itu tidak akan berguna bagi kita di hari kiamat nanti.Kesalahan mereka memang ditanggung oleh mereka,sementara kesalahan kita juga ditanggung kita sendiri.Sementara fatwa tersebut hanya dapat diterima bila disertai dengan dalil dari kitabullah dan Sunnah.Siapa saja yang mengetahui bahwa fatwa itu tidak disertai dengan dalil,haram baginya untuk mengikutinya.Namun orang yang tidak mengetahuinya maka ia bisa dimaklumi.Meski ia harus tetap waspada dan menelitinya.

 

##Warisan jahiliyyah bagian 06##

Abu Ismail @ Karang Tengah Dzulqaidah 1424H

Email: apriadi27@yahoo.com

==========================================

Sumber , Judul asli:Syarh Masaailil Jaahiliyyah

Penulis:Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab

Pensyarah:Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan

Edisi Indonesia:128 Tabiat dan Perangai jahiliyyah

Penerjemah:Abu Umar Al Maidani -Abu Ihsan Al Atsari

Penerbit At Tibyan,cetakan 1 Februari 2003

===========================================

Readmore...

Salafus Shaleh

 
Baca keterangan selanjutnya

As-Salaf As-Shalih Rujukan dalam Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah

Sumber : Diambil dari artikel majalah Fatawa

Pengertian ‘Salaf’
Secara bahasa, salaf berarti orang-orang yang mendahului kita, baik dari segi keilmuan, keimanan, keutamaan, maupun kebaikannya. Ibnul Manzhur berkata, “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahuluimu, baik orang tua maupun karib kerabatmu yang lebih tua dan utama darimu.” Termasuk dalam pengertian ini apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah kepada putrinya Fatimah az-Zahra’,
“Sesunguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah aku” HR. Muslim (no. 1450).

Adapun yang dimaksud ‘salaf’ menurut istilah para ulama pada asalnya adalah para sahabat Nabi, kemudian disertakan kepada mereka -dalam istilah tersebut- generasi sesudah mereka yang mengikuti jejak mereka. Kitab Limadza Ikhtartu Madzhab Salaf hal. 30

Sedangkan menurut tinjauan waktu, maka ‘salaf’ maksudnya adalah generasi-generasi terbaik yang patut diteladani dan diikuti, yaitu tiga generasi pertama yang telah dipersaksikan keutamaannya oleh Rasulullah dalam sabdanya:
“Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian sesudahnya lagi.” Akan datang takhrijnya sebentar lagi. Namun, makna ‘salaf’ menurut tinjauan waktu ini masih belum cukup, karena kita melihat kemunculan firqah-firqah sesat dan bid‘ah-bid‘ah pada masa-masa tersebut, sehingga orang yang hidup pada masa tersebut tidak cukup dikatakan bahwa dia berada di atas manhaj Salaf sampai diketahui bahwa dia sejalan dengan para sahabat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, para ulama menambahkan dengan istilah ‘As-Salaf Ash-Shalih’ (generasi Salaf yang saleh). Pada perkembangan selanjutnya istilah salaf dinisbatkan kepada ‘orang-orang yang senantiasa menjaga aqidah dan manhaj hidupnya agar sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya sebelum terjadi perpecahan dan perselisihan’, yaitu dengan munculnya beberapa macam firqah (kelompok Islam sempalan). Ibid hal. 30-33.

Kewajiban Merujuk kepada Pemahaman Salaf

Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Keselamatan hidup kita, dunia dan akhirat, hanya akan diperoleh dengan cara kita tunduk dan patuh kepada keduanya (baca kembali “Fatawa” edisi ke-2). Namun kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kaum muslimin terpecah-belah dalam berbagai pemahaman. Semua mengklaim dirinyalah yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Masing-masing mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain yang menyelisihinya. Pertanyaan kita adalah siapakah yang paling benar dan paling tepat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga kita tidak boleh meyelisihi mereka ? Jawabannya adalah para sahabat Nabi. Para sahabat itulah orang-orang yang paling paham tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah karena mereka hidup di zaman turunnya kedua wahyu tersebut kepada Nabi. Maka wajib bagi kita mengikuti petunjuk dan bimbingan mereka.

Dalil-Dalil Bahwa Pemahaman Salaf Wajib Menjadi Rujukan Lihat Limadza ikhtartu al-manhaj as-salafi hal. 86-98, dengan perubahan.

Beberapa dalil di bawah ini menunjukkan bahwa pemahaman salaf wajib menjadi rujukan umat Islam dalam memahami agamanya.
1. Allah berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan) kebaikan, Allah ridha kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah:100).

Dalam ayat di atas Allah memuji generasi Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka. Maka, dari sini dapat diketahui bahwa bila Salaf mengemukakan suatu pendapat kemudian diikuti oleh orang-orang pada generasi berikutnya, maka mereka menjadi orang-orang yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhaan dari Allah sebagaimana yang didapatkan oleh generasi Salaf. Kalaulah mengikuti jejak Salaf tidak berbeda dengan mengikuti jejak selainnya, niscaya mereka tidak pantas untuk dipuji dan diridhai; dan hal seperti itu jelas bertentangan dengan ayat di atas. Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas telah jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.

2. Allah berfirman,
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; menyuruh kepada yang ma‘ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Namun, di antara mereka ternyata ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran:110)

Dalam ayat ini Allah menetapkan adanya keutamaan generasi Salaf dibanding keseluruhan umat karena pernyataan dalam ayat tersebut tertuju kepada kaum muslimin, yang waktu itu tiada lain adalah para sahabat, generasi salaf pertama yang mendulang ilmu langsung dari Rasulullah tanpa perantara. Adanya pemberian gelar kepada mereka sebagai umat terbaik menunjukkan bahwa mereka itu senantiasa istiqamah dalam segala hal, sehingga tidak akan menyimpang dari kebenaran. Allah juga menjelaskan sifat mereka sebagai bukti kelurusan jalan hidup mereka, yaitu bahwa mereka selalu memerintahkan kepada yang ma‘ruf dan melarang seluruh yang mungkar. Berdasarkan ayat di atas, juga jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi hujjah dan rujukan bagi generasi sesudah mereka sampai Hari Kiamat.

3. Rasulullah bersabda,
“Sebaik–baik manusia adalah generasiku; kemudian generasi sesudahnya; kemudian generasi sesudahnya lagi. Selanjutnya akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang di antara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” Hadits mutawatir, di antaranya dengan lafal di atas yang diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2509, 3451, dan 6065), Muslim (no. 1533), dan lainnya.

Apakah yang menjadi ukuran kebaikan pada diri mereka (tiga generasi Salaf) dalam hadits Rasulullah tersebut adalah warna kulit, bentuk tubuh, harta, atau yang sejenisnya? Jelas bukan! Dan tidak diragukan lagi bahwa ukuran kebaikan yang dimaksud tidak lain adalah ketakwaan hati dan amal saleh. Mengenai hal ini Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian menurut pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat:13)

Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat rupa dan harta kekayaan kalian. Allah hanya akan melihat kepada hati dan amal kalian.” H.R. Muslim (no. 2564).

Salah seorang sahabat Nabi, Ibnu Mas‘ud, menceritakan bahwa Allah telah menjelaskan kepada umat ini bahwa hati para sahabat adalah sebaik-baik hati setelah hati Nabi Muhammad. Allah menganugerahkan kepada mereka pemahaman yang tidak akan pernah dicapai oleh generasi berikutnya. Sehingga, apa-apa yang mereka nilai baik, maka akan baik menurut Allah dan apa-apa yang mereka nilai buruk, juga menjadi buruk menurut Allah Lihat Musnad Ahmad (I/379).
Jadi jelaslah, pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya sampai Hari Akhir nanti.

4. Allah berfirman,
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Q.S. Al-Baqarah:143)

Kata wasath pada ayat di atas artinya adil dan pilihan. Sebagaimana halnya kandungan ayat pada poin dua, walaupun sifat yang terkandung dalam ayat di atas adalah kaum muslimin secara umum, namun generasi Salaf masuk dalam barisan pertama yang mendapatkan gelaran sifat tersebut. Mereka adalah manusia yang paling adil dan pilihan. Mereka adalah generasi utama dalam umat ini. Mereka paling adil dalam berbuat, dalam berkata-kata, dan dalam berkehendak. Memang sangat pantaslah mereka dijadikan saksi atas seluruh umat. Persaksian mereka akan diterima di hadapan Allah karena persaksian mereka berdasarkan ilmu dan kejujuran. Mengenai hal ini Allah berfirman,
“Dan sembahan-sembahan selain Allah yang mereka sembah itu tidak dapat memberi pembelaan. (Orang yang dapat memberi pembelaan adalah) tidak lain orang yang bersaksi dengan benar (yaitu orang yang bertauhid) dan meyakini(nya).” (Q.S. Az-Zukhruf:86)

Jika persaksian mereka diterima di hadapan Allah, tentu tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya. Memang umat Islam telah bersepakat bahwa tidak ada generasi yang berpredikat adil secara mutlak kecuali para sahabat. Sehingga, berita mereka pasti diterima dan tidak perlu diteliti lagi kebenarannya. Dari situ jelaslah, bahwa pemahaman mereka menjadi rujukan bagi yang lainnya dalam memahami nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak dan jalan hidup mereka.

5. Allah berfirman,
“… dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (Q.S. Luqman:15)
Para sahabat adalah orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah, sehingga Allah memberikan bimbingan kepada mereka bagaimana berkata dan beramal yang baik. Mengenai hal ini Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan mau kembali kepada Allah, mereka mendapatkan kabar gembira; oleh sebab itu, sampaikanlah kabar tersebut kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan-perkataan lalu mengikuti mana yang paling baik di antara perkataan tersebut. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Az-Zummar:17-18)

Orang yang menelaah perjalanan hidup para sahabat pasti akan mengetahui bahwa seluruh sifat yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut dimiliki oleh mereka. Jadi, memang sudah seharusnyalah kita mengikuti jejak mereka dalam memahami agama Allah ini, baik dalam memahami Kitab-Nya maupun Sunnah Nabi-Nya. Allah mengancam orang yang tidak mau mengikuti jalan mereka dengan api neraka, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan tidak mengikuti jalan orang-orang beriman, maka Kami biarkan dia dikuasai oleh kesesatan dan akan Kami masukkan ke dalam neraka Jahannam. Padahal neraka Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisa’:115)

Dalam ayat tersebut, Allah mengancam orang yang tidak mengikuti jalan orang-orang beriman. Yaitu, jalan para sahabat -sebagai generasi pertama yang dimaksudkan dalam ayat tersebut- dan generasi sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syariat Allah adalah wajib. Barangsiapa berpaling dari jalan mereka, maka dia akan menuai kesesatan dan diancam dengan neraka Jahanam. Tidak ada jalan lain yang harus kita tempuh selain jalan kaum mukminin, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada yang lain setelah kebenaran itu, kecuali kesesatan. Maka, mengapa kamu mau dipalingkan (dari kebenaran).” (Q.S. Yunus:32)

Siapapun yang tidak mengikuti jalan orang-orang beriman pasti dia mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Siapa saja yang mau mengikuti jalan orang-orang beriman -jalannya para sahabat - jelas akan mendapatkan keselamatan. Jelaslah, pemahaman para sahabat -sebagai generasi salaf pertama- dalam memahami agama adalah menjadi rujukan bagi kita semuanya. Barangsiapa berpaling darinya, maka sesungguhnya dia telah memilih kebengkokan dan kesempitan. Cukuplah neraka Jahannam sebagai balasan baginya; padahal Jahannam itu sejelek-jelek tempat kembali dan tempat tinggal.

6. Rasulullah pernah bersabda dalam hadits yang menyebutkan tentang perpecahan umat. Dalam hadits tersebut beliau memerintahkan kepada kita agar memegang teguh sunnah beliau dan sunnah Khulafa’ Rasyidin. Beliau bersabda,
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada perikehidipanku dan perikehidupan Khulafa’ Rasyidin sepeninggalku.”

Beliau menyatakan bahwa dari sekian banyak kelompok Islam hanya ada satu yang selamat dan menjadi ahli surga, yaitu mereka yang menempuh perikehidupan sesuai dengan bimbingan Rasulullah dan para sahabatnya. Hal ini beliau tegaskan dalam sabdanya:
“Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja yaitu golongan yang pada saat itu mengikuti peri kehidupanku dan peri kehidupan para sahabatku.”

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas kita mengetahui bahwa perikehidupan seluruh sahabat adalah perikehidupan Khulafa’ Rasyidin dan perikehidupan Rasulullah. Jadi jelaslah, pemahaman sahabat -sebagai generasi salaf pertama- menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.

Para Salafi Pengikut Jalan Hidup Rasulullah dan Para Sahabatnya
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas jelaslah bahwa mengikuti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat adalah satu-satunya jalan keluar dan pilihan yang tepat. Lalu, siapakah di antara sekian banyak kelompok dalam Islam yang jalan hidupnya mengikuti Rasulullah dan para sahabat? Jawabannya tidak lain adalah para salafi.

Jawaban tersebut disimpulkan dari dua hal berikut :
Pertama, paham-paham sesat seperti Khawarij, Rafidhah (Syi‘ah), Murji‘ah, Jahmiyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, dan lain-lain muncul setelah masa kenabian dan masa Khulafa’ Rasyidin. Paham-paham sesat seperti itu bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan jalan hidup Rasulullah dan para sahabat. Bukankah tidak mungkin kita mengatakan bahwa jalan hidup para sahabat sama dengan jalan hidup mereka? Jelas tidak mungkin. Dengan demikian jelaslah bahwa yang benar dan perlu kita ikuti jalan hidupnya bukanlah kelompok-kelompok sesat di atas. Kalau bukan mereka itu, siapa? Jelas, para salafi, yaitu orang-orang yang selalu berpegang erat dengan jalan hidup Rasulullah dan para sahabat.

Kedua, tidak kita dapati kelompok-kelompok dalam Islam yang mempunyai jalan hidup seperti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat kecuali Ahlus Sunnah. Ahlus Sunnah ini tidak lain adalah para salafi. Mengapa? Perlu diketahui, bahwa kelompok-kelompok sesat tersebut sebagian dari mereka meragukan keadilan sikap sahabat; sebagian yang lain bahkan mengkafirkan sahabat; sebagian yang lainnya lagi lebih mendewakan akal daripada harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Bagaimana mungkin kelompok-kelompok sesat itu mau mengikuti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat, sementara jalan hidup mereka seperti itu? Wallahu a‘lam bish shawab.

Satu komentar untuk “As-Salaf As-Shalih Rujukan dalam Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah”

  1. ruli
    February 11th, 2006 06:47
    1

    Untuk moderator, nampaknya artikel ini cocok untuk menjawab banyak pertanyaan yang muncul tentang apa itu manhaj salaf?

Silahkan memberi komentar

Readmore...

Ciri Ahlus Sunnah Waljamaah

 

Ciri Khusus Dan Sifat Utama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Ciri Khusus Dan Sifat Utama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah


Kategori Mujmal Ahlissunnah


Kamis, 27 Januari 2005 13:59:57 WIB

CIRI KHUSUS DAN SIFAT UTAMA AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH


Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql





Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah golongan yang selamat dan kelompok yang dimenangkan oleh Allah. Sekalipun ada perbedaan tingkat di antara mereka namun mereka mempunyai ciri-ciri khusus dan sifat-sifat utama yang membuat mereka berbeda dari golongan lain. Antara lain:

[1]. Memberikan perhatian kepada Kitab Allah dalam bentuk hafalan, bacaan dan tafsiran. Di samping itu juga memberikan perhatian kepada hadits dalam bentuk pengertian, pemahaman dan pemilahan yang shahih dari yang dha'if. Ini disebabkan karena keduanya merupakan sumber utama pengambilan dan dengan disertai pengamalan ilmu yang diperolehnya.

[2]. Masuk ke dalam Islam secara menyeluruh dan iman kepada semua isi Kitabullah, yaitu mengimani seluruh nash yang berkenaan dengan janji maupun ancaman Allah, nash yang berkenaan dengan penetapan asma dan sifat Allah maupun yang berkenaan dengan penolakan hal-hal yang tidak patut bagiNya. Mengimani takdir Allah serta menetapkan bahwa makhluk mempunyai keinginan dan kehendak dan Dia-lah yang berbuat, sebagaimana mereka memadukan antara ilmu dengan ibadah, kekuatan dengan kasih sayang, di samping itu juga mau berusaha dan bekerja tetapi tetap sederhana.

[3]. Mengikuti sunnah, meninggalkan bid'ah dan menjauhkan diri dari perpecahan serta perselisihan dalam agama.

[4]. Mencontoh dan mengikuti jejak para tokoh kebenaran yang dapat dipercaya. Yang dicontoh adalah suru teladannya dalam ilmu, amal dan dakwah. Para tokoh kebenaran itu adalah para shahabat serta orang-orang yang mengikuti manhajnya. Di samping itu juga menjauhi orang-orang yang menyalahi jalan mereka.

[5]. Mengambil jalan tengah, baik dalam pemahaman aqidah maupun dalam amal serta tindak tanduk.; Berada di antara golongan yang berlebihan dan golongan yang melalaikan; berada di antara orang-orang yang melampau batas dan orang-orang yang bermalas-malasan.

[6]. Senantiasa menajaga kesatuan sikap umat Islam ata al-haq dan mempersatukan barisannya atas tauhid dan ittiba' (mengikuti sunnah). Di samping itu juga menjauhkan setiap faktor yang dapat menyebabkan pertentangan dan perselisihan di antara umat. Tidak memiliki keistimewaan atas umat dalam prinsip-prinsip agama, kecuali dengan sebutan sunnah wal jama'ah. Tidak memihak serta tidak memusuhi selain atas ikatan Islam dan Sunnah.

[7]. Berda'wah kepada Allah, beramar ma'ruf nahi munkar, berjihad, menghidupkan sunnah, berusaha untuk tajdid [1] agama serta menegakkan syari'at dan hukum Allah dalam segala urusan yang kecil maupun besar.

[8]. Bersikap adil dan bijaksana dan senantiasa memperhatikan hak Allah Ta'ala, bukan hak pribadi atau golongan. Oleh karena itu mereka tidak bersikap berlebihan terhadap orang yang memihak dan tidak pula berlaku zalim terhadap orang yang memusuhinya. Mereka tidak mengingkari kebaikan yang datang dari siapa saja.

[9]. Kesatuan dalam pemahaman dan kesamaan dalam pandangan, sekalipun berjauhan tempat dan berbeda zman. Inilah salah satu hasi dari kesatuan sumber dan pengambilan.

[10]. Berbuat baik, berkasih sayang, dan sopan santun terhadap seluruh umat manusia.

[11]. Ikhlas dan setia kepada Allah, Kitabullah, Rasulullah, pemimpin umat Islam dan seluruh kaum muslimin.

[12]. Memperhatikan urusan umat Islam, membela kepentingannya dan melaksanakan hak-haknya. Mereka tidak melakukan tindakan menyakiti umatnya.


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Tajdid, yaitu pembaharuan tentang pemahaman dan pengamalan Islam dengan cara kembali kepada ajaran Qur'an dan Sunnah sedcara murni dan konsekwen.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1319&bagian=0


Readmore...

Hukum berdoa kepada Alloh untuk orang kafir

 
Minta Ampunan dari Allah bagi orang-orang musyrik

Minta Ampunan dari Allah bagi orang-orang musyrik
Sabtu, 27 Maret 04

 

Tanya :

Seseorang tadinya muslim kemudian murtad ( keluar ) dari Islam dan mati dalam keadaan murtad, maka apakah dapat kita katakan bahwa dia kafir, dan apakah hukum orang murtad dalam Islam, dan bolehkan kita memohonkan ampunan baginya seperti berdo'a : Ya Allah ampunilah baginya dosa-dosanya …. ?

Jawab :

Barangsiapa yang tadinya muslim ( memeluk agama Islam ) kemudian ia murtad maka dia telah kafir dan harus diminta untuk bertaubat dan diberikan waktu selama tiga hari, jika tidak bertaubat maka dibunuh. Dan tidak boleh memohon ampunan untuknya jika ia mati dalam keadaan murtad, berdasarkan firman Allah : Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (QS. 9:113) Pertanyaan : saya mempunyai beberapa kakek yang mati dalam keadaan syirik, apakah boleh saya memohon ampunan bagi mereka ? Jawab : tidak boleh bagi muslim untuk memohon ampunan bagi kakeknya atau lainnya, jika mereka mati dalam keadaan syirik, berdasarkan firman Allah : Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (QS. 9:113) Lajnah Daimah, III/424-425

www.alsofwah.or.id
 

Readmore...

Bahaya Bid'ah (Bagian 4)

 
Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid'ah 4/4
Selasa, 24 Februari 2004 17:47:12 WIB
Kategori : Bid'ah
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=284

KESEMPURNAAN ISLAM DAN BAHAYA BID'AH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin

Bagian Terakhir dari Empat Tulisan [4/4]


Syarat Yang Harus Dipenuhi Dalam Ibadah
Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara.

Pertama : Sebab.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.

Kedua : Jenis.
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.

Ketiga : Kadar (Bilangan).
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.

Keempat : Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at.

Kelima : Waktu.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.

Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.

Keenam : Tempat.
Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf". [Al-Hajj : 26].

Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu :

Pertama : Ikhlas
Kedua : Mutaba'ah.

Dan Mutaba'ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan tadi.

Penutup
Penulis berpesan kepada mereka yang terjerat dalam cobaan bid'ah, yang kemungkinan mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan, apabila anda memang menghendaki kebaikan maka -demi Allah- tidak ada jalan yang lebih baik daripada jalan para Salaf (generasi pendahulu) Radhiyallahu 'anhum.

Pegang teguhlah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, ikutilah jejak para salaf shaleh, dan perhatikanlah apakah hal itu akan merugikan anda .?

Dan kami katakan, dengan sesungguhnya, bahwa anda akan mendapatkan kebanyakan orang yang suka mengerjakan bid'ah merasa enggan dan malas untuk mengerjakan hal-hal yang sudah jelas diperintahkan dan disunnahkan. Jika mereka selesai melakukan bid'ah, tentu mereka menghadapi sunnah yang telah ditetapkan dengan rasa engggan dan malas. Itu semua merupakan dampak dari bid'ah terhadap hati.

Bid'ah, besar dampaknya terhadap hati dan amat berbahaya bagi agama. Tidak ada suatu kaum melakukan bid'ah dalam agama Allah melainkan mereka telah pula menghilangkan dari sunnah yang setara dengannya atau melebihinya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh seorang ulama salaf.

Akan tetapi apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah pengikut dan bukan pembuat syari'at, maka akan tercapai olehnya kesempurnaan takut, tunduk, patuh dan ibadah kepada Rabbul 'alamien serta kesempurnaan ittiba' (keikutsertaan) kepada Imamul Muttaqin, Sayyidul Mursalin, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Penulis berpesan kepada saudara-saudara kaum Muslimin yang menganggap baik sebagian dari bid'ah, baik yang berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah, atau yang berkenan dengan pribadi dan pengagungan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, hendaklah mereka takut kepada Allah dan menghindari hal-hal semacam itu. Beramalllah dengan didasari ikhlas dan sunnah, bukan syirik dan bid'ah ; menurut apa yang diridhai Allah, bukan apa yang disenangi syaitan. Dan hendaklah mereka memperhatikan apakah yang dapat dicapai oleh hati mereka, berupa keselamatan, kehidupan, ketenangan, kebahagian dan nur yang agung.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai penunjuk jalan yang mendapat petunjuk-Nya dan pemimpin yang membawa kebaikan, memerangi hati kita dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan bencana. Serta semoga Allah membimbing kita kepada jalan para hamba-Nya yang beriman, menjadikan kita termasuk para auliya-Nya yang bertakwa dan golongan-Nya yang beruntung.

Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi Kita, Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

Readmore...

Bahaya Bid'ah (Bagian 3)

 
Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid'ah 3/4
Minggu, 22 Februari 2004 21:03:58 WIB
Kategori : Bid'ah
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=275

KESEMPURNAAN ISLAM DAN BAHAYA BID'AH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin

Bagian Ketiga dari Empat Tulisan [3/4]

Beberapa Pertanyaan dan Jawabannya
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu 'Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : "inilah sebaik-baik bid'ah .... dst".

Jawabnya :
Pertama : Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih". [An-Nuur : 63].
Imam Ahmad bin Hambal berkata : "Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa".

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar".

Kedua : Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang artinya : " ... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak ..." [An-Nisaa : 20] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar.

Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.

Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu 'anhu menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid'ah : "Inilah sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".

Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid'ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.

Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda :
"Artinya : Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya". [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim].

Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun disebut bid'ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu'minin Umar Radhiyallahu 'anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid'ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid'ah untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.

Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan ?".

Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah : "Sarana dihukumi menurut tujuannya". Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.

Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan". [Al-An'aam : 108].
Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang.

Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.

Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".
"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.

Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "man sanna fil islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.

"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau : "Kullu bid'atin dhalaalah".

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]

Readmore...

Bahaya Bid'ah (Bagian 2)

 

 

Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid'ah 2/4


Minggu, 22 Februari 2004 05:57:57 WIB

KESEMPURNAAN ISLAM DAN BAHAYA BID'AH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin

Bagian Kedua dari Empat Tulisan [2/4]


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam Telah Menjelaskan pula Seluruh Agama.

Pembaca yang budiman.
Apabila saudara telah mengakui dan meyakini akan hal-hal di atas, maka apakah masih ada sesuatu hal tentang agama yang dapat mendekatkan kepada Allah belum dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai beliau wafat ?

Tentu tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan segala sesuatu berkenan dengan agama, baik melalui perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya langsung dari inisiatif beliau, atau sebagai jawaban atas pertanyaan. Kadangkala, dengan kehendak Allah, ada seorang Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya tentang sesuatu masalah dalam agama, sementara para sahabat yang selalu menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menanyakan hal tersebut. Karena itu para sahabat merasa senang apabila ada seorang Badui datang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagai bukti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan segala apa yang diperlukan manusia dalam ibadah, mu'amalah dan kehidupan mereka, yaitu firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu". [Al-Maa'idah : 3]

Setiap Bid'ah Adalah Kesesatan

Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara, maka ketahuilah bahwa siapapun yang berbuat bid'ah dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan kesesatan, adalah suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah Ta'ala, yang artinya : " Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu ....." . Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah belum terdapat di dalamnya.

Anehnya, ada orang yang melakukan bid'ah berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan Allah, untuk mensucikan Allah, dan untuk menuruti firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah". [Al-Baqarah : 22]

Aneh, bahwa orang yang melakukan bid'ah seperti ini dalam agama Allah, yang berkenan dengan dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf, mengatakan bahwa dialah yang mensucikan Allah, dialah yang mengagungkan Allah dan dialah yang menuruti firman-Nya : "Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah", dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia adalah mumatstsil musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.

Anehnya lagi, ada orang-orang yang melakukan bid'ah dalam agama Allah berkenaan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang mengagungkan beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid'ah mereka.

Aneh, bahwa orang-orang semacam ini mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya". Padahal dengan bid'ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya telah bertindak lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-Hujuraat : 1]

Pembaca Yang Budiman.
Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar jawaban yang anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional, jawab yang sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).

Apa pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, baik yang berkenan dengan dzat, sifat dan asma' Allah Subhanahu wa Ta'ala atau yang berkenan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasulullah ?".

Apakah mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai pengagung Allah dan Rasulullah, ataukah orang-orang yang mereka itu tidak menyimpang seujung jaripun dari syari'at Allah, yang berkata : "Kami beriman kepada syari'at Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan ; kami menolak apa yang tidak ada dalam syari'at, tak patut kami berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya atau mengatakan dalam agama Allah apa yang tidak termasuk ajarannya ?".

Siapakah, menurut anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul-Nya .?

Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata : "Kami mengimani dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan ; kami menolak apa yang tidak diperintahkan, dan tak patut kami mengada-adakan dalam syari'at Allah atau melakukan bid'ah dalam agama Allah". Tak syak lagi bahwa mereka inilah orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bukan golongan pertama, yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, dalam hal akidah, ucapan, atau perbuatan. Padahal, anehnya, mereka mengerti sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.

"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk dalam neraka".

Sabda beliau : "setiap bid'ah " bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya, Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kullu bid'atin dhalalah", Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap umatnya.

Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu : diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya.

Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid'ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian ?

Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid'ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal.

Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid'ah tapi dianggapnya sebagai bid'ah.
Kedua : kemungkinan termasuk bid'ah, yang tentu saja sayyi'ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.

Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid'ah hasanah, maka jawabannya adalah demikian tadi.

Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid'ah untuk menjadikan sesuatu bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu :

"Artinya : Setiap bid'ah adalah kesesatan"

Senjata itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh siapapun dengan bid'ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=269&bagian=0

Readmore...
 

Welcome In Anca Community Blogg's

Memasang Audio Streaming

Ahlan Wasahlan atas kesedian antum berkunjung di halaman blog ini. Login Form ini hanyalah variasi blog, karena blogspot merupakan blog terbuka, tetapi kami tidak menjadikan kecewa antum, walau tidak bisa login, sebagai gantinya kami berikan Tutorial Cara memasang Audio Streaming

Pasangkan

Untuk memasang audio : Klik Disini

Member Login

Lost your password?

Not a member yet? Sign Up!