Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah 2/3
Kamis, 4 Maret 2004 22:31:09 WIB
Kategori :
Ahkam
Sumber :
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=384
HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH
[Diambil
dari kitab "Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlul Ahwa wal Bida’ " cetakan
Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsariah jilid I hal 373-388]
Oleh
Dr. Ibrahim
bin ‘Amir Ar-Ruhaili
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan
[2/3]
Ijma’ tersebut juga dinukil oleh Syaikh Muhammad ‘Ulaisy (Dia
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, ‘Ulaisy Ath-Tharablisi Ad-Daarul
Mishri, dia seorang syaikh dari madzhab Maliki di sana. Dia banyak melahirkan
ulama-ulama Al-Azhar dari beberapa tingkatan. Dia banyak memiliki karangan dalam
beberapa disiplin ilmu, yang mayoritasnya telah dicetak. Wafatnya tahun 1299 H
di Mesir. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah, Muhammad Makhluf 1/385) dari kalangan
para ulama Malikiyah dalam Taqrirat-nya terhadap Hasyiyah Ad-Dasuqi (Lihat
Taqriqat, Al-‘Allamah Muhammad ‘Ulaisy terhadap Hasyiyah Ad-Dasuki yang dicetak
dengan catatan kaki Ad-Dasuki 2/249. ) dan Doktor Az-Zahaili dalam Al-Fiqhul
Islami. [6 Lihat Al-Fiqhul Islami ‘ala Adillatuhu 7/152]
Secara umum,
keharaman menikahnya wanita muslimah dengan pria kafir termasuk masalah yang
masyhur dan jelas di kalangan para ulama. Hingga, sebagian mereka mewajibkan
dijatuhkannya hukuman kepada si pria kafir dan si wanita muslimah bila terjadi
akad antara keduanya dengan menikahkan setelah dibatalkan. Mereka juga
menghukumi setiap orang yang ikut andil dalam akad itu. Hal ini ditegaskan oleh
Ibnul Hamman Al-Hanafi (Dia Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid bin Abdul Hamid
bin Mas’ud As-Siausi yang terkenal dengan Ibnul Hamman Al-Hanafi, seorang Imam
lagi sangat cerdas. Dia juga seorang peneliti yang cemerlang. Wafat tahun 361 H.
Lihat Syudzuratudz Dzahab 7/29) dalam Syarh Fathul Qadir yang mana beliau
berkata, "Tidak sah menikahnya pria kafir dengan wanita muslimah. Kalau sampai
terjadi, keduanya dihukum, jika si wanita mengetahui status pria. Dan juga orang
yang ikut andil, pria atau wanita." [Syarh Fathul Qadir 2/506]
Yang
dimaksudkan di sini adalah keharaman menikahnya pria mubtadi’ kafir akibat
bid’ahnya, dengan wanita muslimah dari Ahlus Sunnah, menurut nash-nash Al-Kitab
dan ijma’ umat ini berupa keharaman dinikahinya wanita muslimah oleh pria kafir
dan masuknya mubtadi’ kafir ke dalam sifat kufur yang ada hukum-hukum
tentangnya.
Hal ini masih ditambah dengan riwayat-riwayat yang mutawatir
dari para salafush shalih berupa atsar-atsar yang terang tentang keharaman
menikahkan wanita Ahlus Sunnah kepada orang yang telah divonis kafir dari Ahlul
Bid’ah, dan rusaknya serta batalnya pernikahan tersebut.
Di antara
atsar-atsar tersebut:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dan selainnya dari
Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya tentang pernikahan pria Qadari, maka
beliau membaca ayat:
"Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
daripada wanita musrik walaupun dia menarik hatimu." [Al-Baqarah: 221].
[As-Sunnah, Ibnu Abi Ashim hal. 88, dan Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah
hal. 151, dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalikai 2/731].
Dari
beliau juga, bahwa beliau pernah ditanya tentang Qadariyah, manakah yang lebih
baik, tidak berbicara dengan mereka atau memusuhi mereka? Beliau berkata, "Ya,
jika dia memang paham terhadap apa yang dia yakini ….. " Dan beliau berkata,
"Dan saya berpendapat mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah)."
[Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah Ash-Shughra hal. 150]
Dari Sufyan
Ats-Tsauri, dia pernah ditanya oleh seseorang, "Saya memiliki famili yang
Qadari, apakah saya boleh menikahinya?" Beliau berkata, "Tidak. Tidak ada
kehormatan baginya." [Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah
2/735]
Dari Abdurrahman bin Malik, ia berkata, "Tidak ada Ahlul Bid’ah
yang lebih jahat dari teman-teman Jahm, mereka berkeliling-keliling sambil
mengatakan, "Di langit tidak ada apapun." Saya berpendapat, "Demi Allah, mereka
tidak boleh menikahi dan mendapatkan waris." [Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad
dalam Kitabus Sunnah 1/157]
Dari Muhammad bin Yahya (Muhammad bin Yahya
bin Abi Umar Al-‘Adani, dia tinggal di Makkah. Dia seorang yang sangat jujur
lagi mengarang Musnad. Dia terus belajar kepada Ibnu ‘Uyainah, tetapi Abu Hatim
berkata, "Padanya ada kelalaian." Wafat 243 H. ), ia berkata, "Siapa yang
mengatakan Al-Qur’an makhluk, dia kafir. Siapa abstain, dia lebih jahat dari
yang mengatakan makhluk. Tidak boleh shalat di belakang mereka dan mereka tidak
boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah) …" [Al-Lalikai dalam Syarhus Sunnah
2/325]
Riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Salaf menunjukkan
keharaman menikahkan Ahlul Bid’ah yang kebid’ahan-kebid’ahannya sampai ke batas
kekafiran, seperti Jahmiyah dan Qadariyah serta Ahlul Bid’ah yang sama hukumnya
dengan mereka yang telah pasti dihukumi dengan kekafiran menurut Ahlus Sunnah.
Menikahnya mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah adalah tidak boleh dengan
sebab kekafiran mereka. Jika itu terjadi, wajib membatalkannya dengan langsung,
sebagaimana ditunjukkan oleh fatwa-fatwa para ulama Ahlus Sunnah yang menegaskan
madzhab Salaf dalam hal itu.
Diriwayatkan dari Syaikh Abul Qasim As-Sialari
(Dia Abul Qasim Abdul Haq bin Abdul Harits, penutup ulama Afrika. Dia seorang
yang terhormat, peneliti, zuhud, lagi ahli sastra. Sebagian ulama benyak belajar
kepadanya. Dia berumur panjang. Wafat tahun 460 H. Lihat Ad-Dibaj Al-Madzhab,
Ibnu Farihan 2/22.) rahimahullah, beliau ditanya tentang suatu kaum dari
Ibadhiyah yang berpegang dengan madzhab Wahbiyah dari Rafidlah dan tinggal di
antara kaum muslimin, serta mereka menikahi para wanita Ahlus Sunnah agar
bertambah kekuatan mereka dengan hubungan periparan dengan Ahlus Sunnah, maka
apakah boleh Ahlus Sunnah membatalkan pernikahan-pernikahan mereka itu dan
memukul mereka hingga mereka bisa kembali meninggalkan madzhab
mereka?
Maka beliau berkata, "… Pernikahan yang mereka lakukan dengan
para wanita kita (wanita Ahlus Sunnah), maka segera dibatalkan, penjara dan
pukul mereka jika mereka belum bertaubat, yaitu kepada urusan yang benar, dan
kembalikan kepada madzhab Ahlus Sunnah. Dan siapa yang mampu untuk melakukan apa
yang telah kita sebutkan, maka dia wajib melakukannya." [Tabshuratul Hukkam,
Ibnu Farihan yang dicetak dengan footnote Fathul ‘Aliyil Malik
1/425].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam jawaban terhadap
pertanyaan tentang hukum menikahkan seorang pria Rafidlah (dengan wanita Ahlus
Sunnah) dan orang yang mengatakan tidak wajib melakukan shalat yang lima, "Tidak
boleh seorang pun menikahkan budaknya/maulanya yang wanita dengan pria Rafidlah
dan orang yang meninggalkan shalat. Jika ketika mereka menikahkannya dia seorang
Sunni dan shalat, kemudian muncul/tampak bahwa dia sebenarnya seorang Rafidli
yang tidak shalat, atau dia kembali kepada madzhab Rafidlah dan meninggalkan
shalat, maka mereka harus membatalkan nikahnya." [Majmu’ Fatawa
32/61].
Setelah pemaparan yang rinci tentang nash-nash yang syar’i dan
ucapan-ucapan para Salaf, menjadi jelaslah hukum syari’at dan sikap Ahlus Sunnah
tentang pernikahan Ahlul Bid’ah yang telah dihukumi dengan kekafiran, bahwa
pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tidak halal sama sekali, sama saja apakah
mereka pria atau wanita. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang pria Ahlus
Sunnah untuk menikahkan wanita yang dalam tanggung jawabnya dengan pria Ahlul
Bid’ah yang kafir, sebagaimana juga tidak boleh baginya untuk menikahi wanita
dari mereka. Hal itu merupakan ijma’ Ahlus Sunnah. Wallahu A’lam.
Adapun
jika si mubtadi’ tidak kafir, maka yang menjadi masalah dalam pernikahannya
dengan wanita Ahlus Sunnah yaitu berkaitan dengan masalah ‘sekufu’ dalam
pernikahan’. Hal itu teranggap berkaitan dalam sahnya pernikahan atau tidak?
Tempat pembahasan hal ini dengan luas ada dalam kitab-kitab fiqih. Saya di sini
hanya menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tentang masalah ini menurut bentuk
yang global, agar semakin terang dalam hukum pernikahan mubtadi’
tadi.
Global pendapat dalam masalah ini adalah bahwa para ulama
berselisih tentang persyaratan "kufu’" dalam pernikahan. Sebagian mereka
berpendapat bahwa persyaratan kufu’ bukan syarat kesahan pernikahan dan juga
bukan keharusan pernikahan. Itu diriwayatkan oleh Al-Hasan Basyri dan Sufyan
Ats-Tsauri, dan demikian juga pendapat Al-Khurkhi dari kalangan
Hanafiyah.
Dan jumhur para ulama, di antaranya tokoh empat madzhab,
berpendapat bahwa kufu’ adalah syarat keharusan pernikahan dan syarat kesahan
pernikahan. Bila seorang wanita menikah tanpa sekufu’, maka akad tersebut benar.
Para walinya memiliki hak untuk menolak sang pria dan menuntut fasakh-nya untuk
menolak bahaya-bahaya yang memalukan dari diri-diri mereka. Jika mereka
menggugurkan hak mereka dalam menolak, maka itu boleh. Demikian juga kalau sang
wali menikahkan maula wanitanya tanpa sekufu’, maka wanita tersebut memiliki hak
untuk menolak dan membatalkan akad, kecuali kalau dia (si wanita) tidak mau
menggunakan haknya, maka boleh.
Masalah sekufu’ dalam pernikahan adalah
hak bagi sang wanita dan walinya. Hakini tetap berlaku bagi keduanya menurut
persetujuan, yakni kalau salah satunyamenggugurkan haknya, tidak bisa yang lain
ikut gugur kecuali bila dia juga menggugurkan. Kalau keduanya sepakat untuk
menggugurkan hak ini, akad bisa dilaksanakan.Ini berbeda bila kufu’ adalah
syarat dalam kesahan akad, maka akad pernikahan tanpa sekufu’ tidak sah, hingga
kalau para wali dan sang wanita menggugurkan hak mereka untuk menolak. Sebab,
syarat sah tidak bisa gugur dengan digugurkan oleh pemiliknya. Inilah perbedaan
antara syarat yang mesti dan syarat sah. [Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul Hamman
2/417, Syarh Al-Kabir, Ahmad Ad-Darrudir dengan Hasyiyah Ad-Dasiki 2/249,
Mughnil Muhtaj, Muhammad Asy-Syarbini 3/249, Raudlatuth Thalibin, An-Nawawi
7/84, Kasyful Qana’, Al-Bahuti 5/72 dan Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,
Az-Zuhaili 7/234]
Kemudian -setelah mereka sepakat untuk menganggap kufu’
adalah syarat keharusan nikah- jumhur berselisih dalam keberbilangan bagian yang
dianggap dalam kekufu’an. Kita bukan merinci perbedaan mereka dalam hal itu
karena tidak ada keterkaitannya dengan tema kita. Yang kita maukan di sini
adalah menganggap "keagamaan" termasuk bagian kufu’ dalam pernikahan. Inilah
yang menjadi tempat ijma’ mayoritas fuqaha’ yang telah disampaikan tadi, kecuali
Muhammad bin Al-Hasan (Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul hamman 2/422, Taqrirat)
dari Hanafiyah, karena beliau tidak menganggap kekufu’an dalam masalah agama.
Beliau berkata, "Karena ini masalah akhirat sedangkan kufu’ termasuk hukum-hukum
dunia." [Bada’iush Shana’i, Al-Kasani 2/320, Syarh Fathul Qadir, Ibnu Hamman
2/423]
Perlu diperingatkan, yang dimaksud dengan "keagamaan" di sini
adalah sebagaimana yang ditafsirkan para ulama dengan "takwa dan wara", yaitu
sang pria bukan seorang yang fasik dan mubtadi’ (Syaikh Ma’a ‘Ulaisy terhadap
Asy-Syarhul Kabir yang dicetak dengan footnote Ad-Dasuqi 2.249.). Bukanlah yang
dimaksudkan dengan "keagamaan" adalah beragama Islam, karena agama Islam syarat
kesahan akad menurut ijma’, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi,
sebagaimana telah lalu keterangannya di awal pasal.
Inilah ucapan-ucapan
para fuqaha’ dalam menganggap permasalahan kufu’ dalam keagamaan, sebagaimana
dinukil oleh para peneliti empat madzhab:
Dari Madzhab
Hanafi:
Penulis kitab Bada’iush Shana’i berkata di bawah judul "Hal yang
dianggap termasuk kekufu’an": "Di antaranya: Agama. Menurut pendapat Abu Hanifah
dan Abu Yusuf, hingga kalau seorang wanita yang termasuk anak-anak para orang
shalih bila menikahkan dirinya kepada seorang pria fasik, maka para walinya
berhak untuk menolak, sebab membanggakan diri dengan agama lebih pantas daripada
berbangga dengan keturunan, status orang merdeka dan harta. Penjelekan akibat
kefasikan lebih jelek dari berbagai kejelekan-kejelekan yang ada." [Bada’iush
Shana’i, Al-Kasani 2/320]
Itu juga dinukil dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf
Burhanuddin Al-Marghinani,( Dia adalah Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil
Al-Farghani Al-Marghinani, pengarang Al-Hidayah. Dia seorang Imam, faqih,
hafidz, muhaddits (ahli hadits), ahli tafsir lagi pengumpul ilmu. Wafat tahun
593 H. Lihat Al-Fawa’id Al-Bahiyyah dalam Tarajimul Hanafiyah, Al-Kinani hal.
141). pengarang Al-Hidayah, dia berkata, "Dan itu benar (Al-Hidayah dengan Syarh
Fathul Qadir 2/422.) yaitu: Termasuk madzhab keduanya menurut yang diterangkan
Ibnu Hamman dalam Syarh Fathul Qadir." [Syarh Fathul Qadir
2/422]
Sebagaimana masing-masing, tiga para peneliti menyetujui pendapat
Abu Hanifah dan Abu Yusuf dalam konteks ucapan mereka.
[Hukum Perkawinan
Dengan Ahlul Bid'ah, Penulis Syaikh DR Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, Penerjemah
Muhammad Ali Ismah Al-Medany, Penerbit Pustaka Al-Ghuraba' Press, hal
13-25]