Minggu, 22 Februari 2004 21:03:58 WIB
Kategori : Bid'ah
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=275
KESEMPURNAAN ISLAM DAN BAHAYA BID'AH
Oleh
Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin
Bagian Ketiga dari Empat Tulisan
[3/4]
Beberapa Pertanyaan dan Jawabannya
Mungkin ada di antara pembaca
yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab
Radhiyallahu 'Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari
agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para
jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : "inilah
sebaik-baik bid'ah .... dst".
Jawabnya :
Pertama : Bahwa tak
seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan
perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta'ala berfirman
:
"Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya
(Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih". [An-Nuur :
63].
Imam Ahmad bin Hambal berkata : "Tahukah anda, apakah yang dimaksud
dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan,
akhirnya akan binasa".
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Hampir
saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan
Umar".
Kedua : Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'anhu termasuk orang
yang sangat menghormati firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu
alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada
ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan
sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan
yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin)
dengan firman Allah, yang artinya : " ... sedang kamu telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka harta yang banyak ..." [An-Nisaa : 20] bukan rahasia
lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan
mahar.
Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya,
tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa
berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.
Oleh karena
itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu 'anhu menentang sabda Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid'ah : "Inilah
sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebut termasuk dalam kategori sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah
kesesatan".
Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus
ditempatkan sebagai bid'ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan
orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan
satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya
sendiri-sendiri.
Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh
Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut,
kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda :
"Artinya
: Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan
kamu tidak mampu untuk melaksanakannya". [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan
Muslim].
Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan
berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun
disebut bid'ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di
antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya
secara berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu'minin Umar
Radhiyallahu 'anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu
imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid'ah, bila
dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi
sebenarnya bukanlah bid'ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun
bagi ahli bid'ah untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah
hasanah.
Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal
yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi
disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan
buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat
Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini,
yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan
?".
Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan
bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana
itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah
: "Sarana dihukumi menurut tujuannya". Maka sarana untuk melaksanakan perintah,
hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan,
hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya
adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan,
akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.
Firman Allah
Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan". [Al-An'aam : 108].
Padahal menjelek-jelekkan
sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya.
Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak
pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan
orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan
tersebut dilarang.
Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil
yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya
sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain
sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana.
Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang
membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka
pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk
pengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.
Jika
ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh
kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang
yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".
"Sanna" di sini artinya :
membuat atau mengadakan.
Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan
ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah
kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin
sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu
sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan.
Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali.
Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena
kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits
tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "man sanna fil
islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah
tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah hasanah", berarti :
"Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara
berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.
Jawaban lainnya, bahwa kata-kata
"man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang
telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti
membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah
yang telah ditinggalkan.
Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh
sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka
beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta
mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak
yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan
bersabda.
"Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam
Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti
(meniru) perbuatannya itu ..".
Dari sini, dapat dipahami bahwa arti
"sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan)
suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan
Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat
atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau
: "Kullu bid'atin dhalaalah".
[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy
Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya
Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur
MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]