Kesempurnaan Islam Dan Bahaya
Bid'ah 2/4
Minggu, 22 Februari 2004
05:57:57 WIB
KESEMPURNAAN ISLAM DAN
BAHAYA BID'AH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh
Al-'Utsaimin
Bagian Kedua dari Empat Tulisan [2/4]
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam Telah Menjelaskan pula Seluruh
Agama.
Pembaca yang budiman.
Apabila saudara telah mengakui dan
meyakini akan hal-hal di atas, maka apakah masih ada sesuatu hal tentang agama
yang dapat mendekatkan kepada Allah belum dijelaskan oleh Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam sampai beliau wafat ?
Tentu tidak. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam telah menerangkan segala sesuatu berkenan dengan agama, baik
melalui perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau. Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah menerangkannya langsung dari inisiatif beliau, atau sebagai
jawaban atas pertanyaan. Kadangkala, dengan kehendak Allah, ada seorang Badui
datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya tentang
sesuatu masalah dalam agama, sementara para sahabat yang selalu menyertai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menanyakan hal tersebut. Karena
itu para sahabat merasa senang apabila ada seorang Badui datang untuk bertanya
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagai bukti bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan segala apa yang diperlukan
manusia dalam ibadah, mu'amalah dan kehidupan mereka, yaitu firman Allah
Ta'ala.
"Artinya : Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi
agama bagimu". [Al-Maa'idah : 3]
Setiap Bid'ah Adalah
Kesesatan
Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara,
maka ketahuilah bahwa siapapun yang berbuat bid'ah dalam agama, walaupun dengan
tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan kesesatan, adalah suatu
tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah Ta'ala, yang artinya : "
Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu ....." . Karena dengan
perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna,
sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada
Allah belum terdapat di dalamnya.
Anehnya, ada orang yang melakukan
bid'ah berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla, kemudian ia
mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan Allah, untuk mensucikan
Allah, dan untuk menuruti firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Maka janganlah
kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah". [Al-Baqarah : 22]
Aneh, bahwa
orang yang melakukan bid'ah seperti ini dalam agama Allah, yang berkenan dengan
dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf, mengatakan bahwa
dialah yang mensucikan Allah, dialah yang mengagungkan Allah dan dialah yang
menuruti firman-Nya : "Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu
bagi Allah", dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia adalah mumatstsil
musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya
dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.
Anehnya lagi, ada orang-orang yang
melakukan bid'ah dalam agama Allah berkenaan dengan pribadi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa
dirinyalah orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan yang mengagungkan beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka
maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka
pergunakan terhadap orang yang menolak bid'ah mereka.
Aneh, bahwa
orang-orang semacam ini mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan
Rasul-Nya". Padahal dengan bid'ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya
telah bertindak lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah
berfirman.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-Hujuraat : 1]
Pembaca Yang
Budiman.
Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar jawaban
yang anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional, jawab yang
sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).
Apa
pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, baik yang
berkenan dengan dzat, sifat dan asma' Allah Subhanahu wa Ta'ala atau yang
berkenan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian
mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasulullah ?".
Apakah
mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai pengagung Allah dan Rasulullah,
ataukah orang-orang yang mereka itu tidak menyimpang seujung jaripun dari
syari'at Allah, yang berkata : "Kami beriman kepada syari'at Allah yang dibawa
Nabi, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap
perintah dan larangan ; kami menolak apa yang tidak ada dalam syari'at, tak
patut kami berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya atau mengatakan dalam
agama Allah apa yang tidak termasuk ajarannya ?".
Siapakah, menurut anda,
yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan
Allah dan Rasul-Nya .?
Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang
berkata : "Kami mengimani dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami,
patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan ; kami menolak apa yang tidak
diperintahkan, dan tak patut kami mengada-adakan dalam syari'at Allah atau
melakukan bid'ah dalam agama Allah". Tak syak lagi bahwa mereka inilah
orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang
mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran
kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bukan golongan pertama, yang
melakukan bid'ah dalam agama Allah, dalam hal akidah, ucapan, atau perbuatan.
Padahal, anehnya, mereka mengerti sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa
sallam.
"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara
baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk
dalam neraka".
Sabda beliau : "setiap bid'ah " bersifat umum dan
menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang
disampaikannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling
fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami
maknanya, Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kullu
bid'atin dhalalah", Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan
maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus
terhadap umatnya.
Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini,
yaitu : diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian,
maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang
dikandungnya.
Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid'ah dapat
kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian ?
Sama sekali tidak
benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid'ah hasanah,
maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal.
Pertama : kemungkinan
tidak termasuk bid'ah tapi dianggapnya sebagai bid'ah.
Kedua : kemungkinan
termasuk bid'ah, yang tentu saja sayyi'ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui
keburukannya.
Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid'ah
hasanah, maka jawabannya adalah demikian tadi.
Dengan demikian, tak ada
jalan lagi bagi ahli bid'ah untuk menjadikan sesuatu bid'ah mereka sebagai
bid'ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu :
"Artinya : Setiap bid'ah adalah
kesesatan"
Senjata itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka
barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh siapapun
dengan bid'ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan : "Setiap bid'ah adalah
kesesatan".
[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil
Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan
Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=269&bagian=0