Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna,
yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya
mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang
yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada
ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah
dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah
mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan
dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana
tersebut pada firman Allah :
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati
semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ :
36)
dan firman-Nya:
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh
Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff : 18)
Bahaya lisan itu sangat banyak.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
“Bukankah manusia
terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan
lidahnya”.
Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi
tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan
mencegah kemungkaran”.
Barang siapa memahami hal ini dan beriman
kepada-Nya dengan keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara
lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau
diam.
Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada
empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama
memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka
jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia
mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik
perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan
yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena
takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah
yang banyak terjadi pada manusia.
Allah berfirman :
“Apapun kata yang
terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS.Qaaf : 18)
Para
ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh
malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang
akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat
yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus, yaitu pada
setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang tersebut mendapat
pembalasan.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka
hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu,
keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik
terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat
baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku
beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.
Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang
shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari
mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang
terpuji.
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung
hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang
tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang
lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya
walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya
dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah
ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”.
Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.
Selanjutnya
ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia
berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama
daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan
kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan “diam”.
Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya
dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar
berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada
orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan
yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan
pemberiannya.
|