Hadits ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia
berkata : “Rasulullah berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai manusia,
Allah telah mewajibkan kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu seseorang
bertanya : Wahai Rasulullah… apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam, sampai
orang itu bertanya tiga kali, lalu Rasulullah bersabda : Kalau aku katakana “ya”
niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya, kemudian beliau
bersabda lagi :Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan, karena kehancuran
umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi
mereka. Maka jika aku perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah menurut
kemampuan kamu, tetapi jika aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka
tinggalkanlah. Laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin
Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.
Para ahli ushul fiqh
mempersoalkan perintah dalam agama, apakah perintah itu harus dilakukan
berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam
menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan tetapi yang lain tidak menyatakan
setuju atau menolak, tetapi menunggu penjelasan selanjutnya. Hadits ini
dijadikan dalil bagi mereka yang bersikap menanti (netral), karena sahabat
tersebut bertanya “Apakah setiap tahun?” sekiranya perintah itu dengan
sendirinya mengharuskan pelaksanaan berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah
tidak menjawab dengan kata-kata “Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib
dan kamu tidak akan sanggup melakukannya” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut
ditanyakan. Akan tetapi secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak
perlu dilaksanakan berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama,
bahwa haji itu hanya wajib dilakukan satu kali seumur hidup.
Kalimat,
“Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan” secara formal menunjukkan bahwa
setiap perintah agama tidaklah wajib dilaksanakan berulang-ulang, kalimat ini
juga menunjukkan bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah
sampai datang keterangan agama. Hal ini merupakan prinsip yang benar dalam
pandangan sebagian besar ahli fiqh.
Kalimat, “Kalau aku katakan “ya”
tentu menjadi wajib” menjadi alasan bagi pemahaman para salafush sholih bahwa
Rasulullah mempunyai wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak
diisyaratkan keputusan hukum itu harus dengan wahyu.
Kalimat, “apa saja
yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu” merupakan
kalimat yang singkat namun padat dan menjadi salah satu prinsip penting dalam
Islam, termasuk dalam prinsip ini adalah masalah-masalah hukum yang tidak
terhitung banyaknya, diantaranya adalah sholat, contohnya pada ibadah sholat,
bila seseorang tidak mampu melaksanakan sebagian dari rukun atau sebagian dari
syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa yang dia mampu. Begitu pula dalam
membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, bila tidak
bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia keluarkan semampunya, juga dalam
memberantas kemungkaran, jika tidak dapat memberantas semuanya, maka hendaklah
ia lakukan semampunya dan masalah-masalah lain yang tidak terbatas banyaknya.
Pembahasan semacam ini telah populer didalam kitab-kitab fiqh. Hadits diatas
sejalan dengan firman Allah, QS. At-Taghabun 64:16, “Maka bertaqwalah kepada
Allah menurut kemampuan kamu” Adapun firman Allah, QS. Ali ‘Imraan 3:102, “Wahai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang
sungguh-sungguh” ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat diatas. Sebagian
ulama berkata : Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan
menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan Allah memerintahkan
melakukan sesuatu menurut kemampuan, karena Allah berfirman, QS. Al-Baqarah
2:286, “Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya” dan firman Allah
dalam QS. Al-Hajj 22:78, “Allah tidak membebankan kesulitan kepada kamu dalam
menjalankan agama”
Kalimat, “apasaja yang aku larang kamu
melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya sifat
mutlak, kecuali apabila seseorang mengalami rintangan /udzur dibolehkan
melanggarnya, seperti dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat, dalam
keadaan seperti ini perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Akan tetapi
dalam keadaan tidak darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan.
Seseorang tidak dapat dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan
tersebut dalam selang waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan
perintah, yang mana sekali saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip
yang berlaku dalam memahami perintah secara umum, apakah suatu perintah harus
segera dilakukan atau boleh ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka
hadits ini mengandung berbagai macam pembahasan fiqh.
Kalimat,
“Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya
dan menyalahi nabi-nabi mereka” disebutkan setelah kalimat, “biarkanlah aku
dengan apa yang aku diamkan kepada kamu” maksudnya ialah kamu jangan banyak
bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang bermacam-macam, menyerupai peristiwa
yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor
sapi yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi
seadanya, niscaya mereka dikatakan telah menaatinya.
Akan tetapi, karena
mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya
dipersulit dan dicela. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam khawatir hal
semacam ini terjadi pada umatnya.
|